Jumat, 05 April 2024

Arya Benculuk dan Dalem Benculuk Tegeh Kuri

Pura Dalem Benculuk Tegeh Kuri, Tonja (Foto : Foursquare)


    Diceritakan bahwa saat berlangsungnya invasi Majapahit pada tahun 1343 M yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Sri Arya Damar (Adityawarman), terdapat beberapa orang Arya yang ikut serta dalam penyerangan tersebut. Salah satu diantaranya adalah Arya Benculuk, yang dimana setelah invasi berhasil dilaksanakan, ia kemudian ditugaskan sebagai seorang demung yang berkedudukan di desa Tangkas, Klungkung bersama dengan Arya Kanuruhan. Arya Benculuk kemudian menikah dan mempunyai seorang putra bernama Kyai Tangkas. Kyai Tangkas kemudian memutuskan untuk pindah dari desa Tangkas menuju sebuah desa kecil di wilayah timur kerajaan Badung yang bernama Tonja.

    Setelah bertempat tinggal di Tonja, Kyai Tangkas membuat Puri yang indah dengan memiliki banyak rakyat serta membangun Pura yang dipandang perlu untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pada suatu ketika, Dalem Ketut Ngulesir atau Sri Semara Kapakisan putra Dalem Samprangan, yang beristana di Puri Sweca Linggarsa Pura, Gelgel mempunyai masalah dengan abdinya yang bernama I Ngurah Lokongjaya, Prabekel Kaliungu. Ida Dalem memanggil I Lokongjaya dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantarkan surat yang amat penting kepada Kyai Tangkas yang sudah bertempat tinggal di Tonja. Setelah sampai di Desa Tonja, abdi tersebut bertemu dengan I Gusti Bagus Anom yang merupakan putra dari Kyai Tangkas, yang gemar sabungan ayam. Sambil menunggu kadatangan Kyai Tangkas, keduanya bermain sabungan ayam sampai sore. Sudah cukup lama mereka menunggu dan malam sudah menjelang tiba, lalu I Gusti Bagus Anom bertanya kepada I Lokongjaya: "Hendak kemanakah Paman selanjutnya?". Abdi tersebut menjawab: "Hamba hendak menghaturkan surat kepada ayahanda tuanku". I Gusti Bagus Anom akhirnya menyuruh abdi tersebut untuk pulang dan surat tersebut diambilnya, hendak diserahkan sendiri kepada ayahandanya. Tiada lama datanglah Kyai Tangkas disambut oleh putranya sambil menyerahkan surat yang dibawa oleh I Lokongjaya. Setelah surat tersebut dibacanya, betapa kagetnya beliau karena dalam surat tersebut tertera suatu perintah " Bunuhlah orang yang membawa surat ini" Karena setianya kepada Ida Dalem dan untuk itu apapun perintah Baginda harus dilaksanakan, maka tiada pilihan baginya. Akhirnya dengan berat hati anaknya dibunuh, walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya kesalahan putra kesayangannya itu. 

    Setelah anaknya terbunuh, Kyai Tangkas menjadi malas menghadap Ida Dalem di Gelgel. Diceritakan, pada suatu saat Dalem mengutus seseorang meminta agar Kyai Tangkas berkenan menghadap Ida Dalem di Gelgel. Saat Kyai Tangkas menghadap Ida Dalem bersabda, "Hai Kyai Tangkas hanya membunuh seorang abdi saja tidak bisa". Kyai Tangkas menyembah dan berkata bahwa apa yang tertera dalam surat itu sudah dilaksanakan yakni si pembawa surat telah dibunuh, dan orang itu adalah I Gusti Bagus Anom anaknya sendiri. Ida Dalem terkejut mendengarnya. Sedih, marah, kesal dan menyesal bercampur baur dalam hati Ida Dalem. 

    Karena merasa kasihan kepada Kyai Tangkas yang memiliki putra satu-satunya telah dibunuh sendiri, maka Ida Dalem pada saat itu memberikan salah seorang putra laki-lakinya kepada Kyai Tangkas untuk diasuh. Namun ketika pertemuan masih berlangsung, putra Ida Dalem itu lari ke arah Ida Dalem dan naik dari arah belakang baginda (uli duri/kuri - bahasa Bali) seraya meraba kepala ayahnya - Sri Dalem Semara Kepakisan. Ida Dalem menjadi sangat marah. Atas kehendak Ida Hyang Prama Kawi putra Dalem tersebut akhirnya diserahkan kepada Kyai Tangkas untuk diangkat anak, mengingat Kyai Tangkas tidak memiliki putra lagi dan diberikan gelar Dalem Benculuk Tegeh Kuri. Demikianlah secara turun temurun keturunannya disebut Dalem Benculuk Tegeh Kuri di Tonja, Badung.

    Dikisahkan kemudian, pada masa pemerintahan Puri Alang Badung dan Puri Agung Pemecutan yang digerakkan oleh Kyai Anglurah Pemecutan Sakti, sering terjadi gangguan keamanan di sisi timur kerajaan seperti di Sumerta dan sekitarnya. Maka diperintahkanlah putra Kyai Anglurah Pemecutan Sakti yang beribu dari Puri Gelogor bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun untuk memimpin pasukan pengamanan di wilayah timur dengan upaya yang pertama melakukan perdamaian dengan Arya Benculuk Tegeh Kuri yang sering melakukan kekacauan di kawasan itu. Untuk keperluan tersebut beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari Prabu Pucangan kepada Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira. Kenyataannya perdamaian tidak bisa dilakukan, mungkin karena Arya Benculuk merasa keturunan Dalem, sehingga pertempuran tidak bisa dihindari. Pertempuran sengit ini terjadi sekitar tahun 1689 M. Dalam pertempuran itu Arya Benculuk Tegeh Kuri kalah. Maka seluruh keturunannya diturunkan derajatnya menjadi orang biasa dengan panggilan Guru atau Bapa. Di samping itu Arya Benculuk dan keturunannya mengalih berpencar ke tempat lain. 

    Kyai Agung Ngurah Pemayun (Nararya Anglurah Pemayun) adalah putra kedua dari Raja Pemecutan III Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan. Selanjutnya Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman dengan pasukan intinya yang dijuluki "Poleng Kesiman."

Sumber :
  • Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna, Gianyar
  • Transkripsi Puri Pemayun Kedatuan, Kesiman

Kamis, 04 April 2024

Sejarah Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman

Foto : Google Maps


    Desa Adat Kesiman merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kota Denpasar bagian timur. Secara garis besar, Desa Adat Kesiman dibagi menjadi dua wilayah, yakni Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu. Di Desa Kesiman Kertalangu, terdapat salah satu situs bangunan Pura kuno yang konon telah berdiri sejak jaman kerajaan Kertalangu, yakni Pura Luhur Dalem Mutering Jagat.
    Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman adalah sebuah Pura (tempat pemujaan Tuhan bagi para umat Hindu Bali) yang berlokasi di sebelah sungai Tukad Ayung, di dekat wilayah bekas kerajaan Puri Kertalangu (Anglurah Wang Bang Pinatih). Di Pura ini, berstana dua Bhatara (dewa) lanang-wadon (laki-perempuan) yang bergelar Ida Bhatara Dalem Mutering Jagat Mekalihan dan juga para prasanak-prasanak beliau.
    Sebelum Puri Kertalangu berdiri, dulunya area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman hingga pinggir pantai Padanggalak adalah sebuah hutan yang disebut Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Hutan tersebut merupakan wilayah kekuasaan dari penguasa yang berstana di Tampur Hyang (Batur), dan juga tempat yang digunakan oleh raja untuk berburu binatang. Karena wilayah hutan yang sangat luas, maka ditempatkanlah salah seorang patih yang bernama Pinatih Dyah Mahogra. Lambat laun, Pinatih Dyah Mahogra membangun sebuah pertapaan di tengah hutan tersebut yang dimana tempat pertapaan beliau diyakini berada di area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman sekarang.
    Sekitar tahun Çaka 1247 (1325 M), seorang raja bernama Dalem Batu Ireng melakukan perjalanan melewati desa-desa seperti Gelgel, Taro, Batuaji, Batuasih, Kalangangendis, dan Tampur Hyang. Tujuan pengembaraan beliau adalah untuk membangun Parhyangan Dalem yang bernama Pura Dalem Tungkub, yang kemudian diempon oleh Pasek Dangka. Setelah membangun Pura Dalem Tungkub, beliau kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bukit Bali, Batu Belig, dan Sumerta.
    Ketika sampai di Sumerta, penguasa daerah disana yang bernama Anglurah Bongaya dan Anglurah Tebongkang meragukan dan mencurigai tujuan Dalem Batu Ireng. Oleh karena itu, Dalem Batu Ireng tidak jadi membangun Parhyangan Dalem disana. Beliau pun kemudian melanjutkan anjang sananya menuju desa Tangkas, untuk menghindari suatu perang yang tengah berkecamuk.
    Bagi Dalem Batu Ireng, satu-satunya cara untuk menghindar dari peperangan adalah dengan moksha (mati) untuk sementara. Setelah tiga hari moksha, Dalem Batu Ireng melanjutkan perjalanan sungai yang berada di sebelah bekas pertapaan Pinatih Dyah Mahogra di Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Disana beliau ingin menceburkan diri untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sebelum meninggalkan dunia ini, Dalem Batu Ireng berkata kepada para pengikutnya bahwa satu-satunya jalan untuk dapat membahagiakan diri adalah dengan menceburkan diri ke dalam sungai. Semenjak itulah sungai tersebut bernama Weayu (we : air, ayu : bahagia), yang lambat laun berkembang menjadi Weayung atau Tukad Ayung.
    Setelah Dalem Batu Ireng mencapai moksa, para pengikutnya mendirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Putranya yang bernama Sira Arya Panji kemudian mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur sekitar tahun Çaka 1265. Batu peringatan yang terletak di Sungai Ayung kemudian dikenal bernama Batumenjong. 
    Seiring berjalannya waktu, ketiga keturunan Ida Dalem Batu Ireng menuju Sungai Ayung yang diikuti oleh Bendesa Manik Mas. Mereka kemudian bertemu di Gaduh mengambil batu peringatan (Batu Sima), dan diletakkan di tepi Sungai Ayung. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung. Bendesa Mas dan Gaduh kemudian membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem, lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di Hutan Ambengan Abian Nangka.

Foto : Google Maps

    Di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Dalem Batu Ireng moksa, Arya Wang Bang Pinatih (salah satu Arya yang ikut dalam invasi Majapahit ke pulau Bali) bertemu dengan masyarakat Bali, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Simakrama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng yang bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang  menerima warisan dari Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang Pinatih mendirikan kerajaan Kertalangu dan mengukuhkan tempat peninggalan Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wraspati Wage Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini. 
    Setelah berkuasa selama beberapa tahun, kerajaan Kertalangu runtuh akibat konflik yang terjadi antara Arya Wang Bang Pinatih dengan mertuanya, Ki Dukuh Pahang. Untuk menyelamatkan keluarga Puri Kertalangu, Raja berpindah ke daerah Sanur dan kemudian mendirikan pura di Pantai Sanur dengan nama Pura Jumenang. Dengan pindahnya Raja Puri di Kertalangu ke Sanur, maka rakyat Kesiman menjadi tidak terurus dengan baik. Selama bertahun-tahun, wilayah Kesiman menjadi terbengkalai dan banyak bangunan-bangunan suci yang perlahan mulai rusak akibat tak terurus.
    Sekian lama terjadi kekosongan wilayah, pada sekitar tahun 1689-1690, putra dari Kyai Anglurah Pemecutan Sakti (Tjokorda Pemecutan III) yang bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri bernama Puri Ageng Pemayun Kesiman. Dalam pemerintahan kerajaan inilah banyak Parhyangan-Parhyangan yang diperbaiki dan dibangun untuk mengambil hati rakyat termasuk Pura Luhur Dalem Mutering Jagat, agar masyarakat Kesiman terutama rakyat iringan raja Arya Wang Bang Penatih menjadi lekat hatinya kepada kerajaan Kesiman. 

Narasumber : Jero Mangku Gede Mutering Jagat Kesiman, I Wayan Duana
Daftar Pustaka :
  • Supartha, Wayan. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Denpasar: Pustaka Bali Post.
  • Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. "Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali". Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
  • SatyaWedha. 2018. PURA PETILAN – PURA PANGREBONGAN. https://yanartha.wordpress.com/pura-petilan-pura-pangrebongan, diakses 4 April 2024 pukul 17:42.

Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat (Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun) Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat...