Diceritakan bahwa saat berlangsungnya invasi Majapahit pada tahun 1343 M yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Sri Arya Damar (Adityawarman), terdapat beberapa orang Arya yang ikut serta dalam penyerangan tersebut. Salah satu diantaranya adalah Arya Benculuk, yang dimana setelah invasi berhasil dilaksanakan, ia kemudian ditugaskan sebagai seorang demung yang berkedudukan di desa Tangkas, Klungkung bersama dengan Arya Kanuruhan. Arya Benculuk kemudian menikah dan mempunyai seorang putra bernama Kyai Tangkas. Kyai Tangkas kemudian memutuskan untuk pindah dari desa Tangkas menuju sebuah desa kecil di wilayah timur kerajaan Badung yang bernama Tonja.
Setelah bertempat tinggal di Tonja, Kyai Tangkas membuat Puri yang indah dengan memiliki banyak rakyat serta membangun Pura yang dipandang perlu untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pada suatu ketika, Dalem Ketut Ngulesir atau Sri Semara Kapakisan putra Dalem Samprangan, yang beristana di Puri Sweca Linggarsa Pura, Gelgel mempunyai masalah dengan abdinya yang bernama I Ngurah Lokongjaya, Prabekel Kaliungu. Ida Dalem memanggil I Lokongjaya dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantarkan surat yang amat penting kepada Kyai Tangkas yang sudah bertempat tinggal di Tonja. Setelah sampai di Desa Tonja, abdi tersebut bertemu dengan I Gusti Bagus Anom yang merupakan putra dari Kyai Tangkas, yang gemar sabungan ayam. Sambil menunggu kadatangan Kyai Tangkas, keduanya bermain sabungan ayam sampai sore. Sudah cukup lama mereka menunggu dan malam sudah menjelang tiba, lalu I Gusti Bagus Anom bertanya kepada I Lokongjaya: "Hendak kemanakah Paman selanjutnya?". Abdi tersebut menjawab: "Hamba hendak menghaturkan surat kepada ayahanda tuanku". I Gusti Bagus Anom akhirnya menyuruh abdi tersebut untuk pulang dan surat tersebut diambilnya, hendak diserahkan sendiri kepada ayahandanya. Tiada lama datanglah Kyai Tangkas disambut oleh putranya sambil menyerahkan surat yang dibawa oleh I Lokongjaya. Setelah surat tersebut dibacanya, betapa kagetnya beliau karena dalam surat tersebut tertera suatu perintah " Bunuhlah orang yang membawa surat ini" Karena setianya kepada Ida Dalem dan untuk itu apapun perintah Baginda harus dilaksanakan, maka tiada pilihan baginya. Akhirnya dengan berat hati anaknya dibunuh, walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya kesalahan putra kesayangannya itu.
Setelah anaknya terbunuh, Kyai Tangkas menjadi malas menghadap Ida Dalem di Gelgel. Diceritakan, pada suatu saat Dalem mengutus seseorang meminta agar Kyai Tangkas berkenan menghadap Ida Dalem di Gelgel. Saat Kyai Tangkas menghadap Ida Dalem bersabda, "Hai Kyai Tangkas hanya membunuh seorang abdi saja tidak bisa". Kyai Tangkas menyembah dan berkata bahwa apa yang tertera dalam surat itu sudah dilaksanakan yakni si pembawa surat telah dibunuh, dan orang itu adalah I Gusti Bagus Anom anaknya sendiri. Ida Dalem terkejut mendengarnya. Sedih, marah, kesal dan menyesal bercampur baur dalam hati Ida Dalem.
Karena merasa kasihan kepada Kyai Tangkas yang memiliki putra satu-satunya telah dibunuh sendiri, maka Ida Dalem pada saat itu memberikan salah seorang putra laki-lakinya kepada Kyai Tangkas untuk diasuh. Namun ketika pertemuan masih berlangsung, putra Ida Dalem itu lari ke arah Ida Dalem dan naik dari arah belakang baginda (uli duri/kuri - bahasa Bali) seraya meraba kepala ayahnya - Sri Dalem Semara Kepakisan. Ida Dalem menjadi sangat marah. Atas kehendak Ida Hyang Prama Kawi putra Dalem tersebut akhirnya diserahkan kepada Kyai Tangkas untuk diangkat anak, mengingat Kyai Tangkas tidak memiliki putra lagi dan diberikan gelar Dalem Benculuk Tegeh Kuri. Demikianlah secara turun temurun keturunannya disebut Dalem Benculuk Tegeh Kuri di Tonja, Badung.
Dikisahkan kemudian, pada masa pemerintahan Puri Alang Badung dan Puri Agung Pemecutan yang digerakkan oleh Kyai Anglurah Pemecutan Sakti, sering terjadi gangguan keamanan di sisi timur kerajaan seperti di Sumerta dan sekitarnya. Maka diperintahkanlah putra Kyai Anglurah Pemecutan Sakti yang beribu dari Puri Gelogor bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun untuk memimpin pasukan pengamanan di wilayah timur dengan upaya yang pertama melakukan perdamaian dengan Arya Benculuk Tegeh Kuri yang sering melakukan kekacauan di kawasan itu. Untuk keperluan tersebut beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari Prabu Pucangan kepada Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira. Kenyataannya perdamaian tidak bisa dilakukan, mungkin karena Arya Benculuk merasa keturunan Dalem, sehingga pertempuran tidak bisa dihindari. Pertempuran sengit ini terjadi sekitar tahun 1689 M. Dalam pertempuran itu Arya Benculuk Tegeh Kuri kalah. Maka seluruh keturunannya diturunkan derajatnya menjadi orang biasa dengan panggilan Guru atau Bapa. Di samping itu Arya Benculuk dan keturunannya mengalih berpencar ke tempat lain.
Kyai Agung Ngurah Pemayun (Nararya Anglurah Pemayun) adalah putra kedua dari Raja Pemecutan III Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan. Selanjutnya Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman dengan pasukan intinya yang dijuluki "Poleng Kesiman."
Sumber :
- Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna, Gianyar
- Transkripsi Puri Pemayun Kedatuan, Kesiman