Desa Adat Kesiman merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kota Denpasar bagian timur. Secara garis besar, Desa Adat Kesiman dibagi menjadi dua wilayah, yakni Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu. Di Desa Kesiman Kertalangu, terdapat salah satu situs bangunan Pura kuno yang konon telah berdiri sejak jaman kerajaan Kertalangu, yakni Pura Luhur Dalem Mutering Jagat.
Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman adalah sebuah Pura (tempat pemujaan Tuhan bagi para umat Hindu Bali) yang berlokasi di sebelah sungai Tukad Ayung, di dekat wilayah bekas kerajaan Puri Kertalangu (Anglurah Wang Bang Pinatih). Di Pura ini, berstana dua Bhatara (dewa) lanang-wadon (laki-perempuan) yang bergelar Ida Bhatara Dalem Mutering Jagat Mekalihan dan juga para prasanak-prasanak beliau.
Sebelum Puri Kertalangu berdiri, dulunya area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman hingga pinggir pantai Padanggalak adalah sebuah hutan yang disebut Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Hutan tersebut merupakan wilayah kekuasaan dari penguasa yang berstana di Tampur Hyang (Batur), dan juga tempat yang digunakan oleh raja untuk berburu binatang. Karena wilayah hutan yang sangat luas, maka ditempatkanlah salah seorang patih yang bernama Pinatih Dyah Mahogra. Lambat laun, Pinatih Dyah Mahogra membangun sebuah pertapaan di tengah hutan tersebut yang dimana tempat pertapaan beliau diyakini berada di area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman sekarang.
Sekitar tahun Çaka 1247 (1325 M), seorang raja bernama Dalem Batu Ireng melakukan perjalanan melewati desa-desa seperti Gelgel, Taro, Batuaji, Batuasih, Kalangangendis, dan Tampur Hyang. Tujuan pengembaraan beliau adalah untuk membangun Parhyangan Dalem yang bernama Pura Dalem Tungkub, yang kemudian diempon oleh Pasek Dangka. Setelah membangun Pura Dalem Tungkub, beliau kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bukit Bali, Batu Belig, dan Sumerta.
Ketika sampai di Sumerta, penguasa daerah disana yang bernama Anglurah Bongaya dan Anglurah Tebongkang meragukan dan mencurigai tujuan Dalem Batu Ireng. Oleh karena itu, Dalem Batu Ireng tidak jadi membangun Parhyangan Dalem disana. Beliau pun kemudian melanjutkan anjang sananya menuju desa Tangkas, untuk menghindari suatu perang yang tengah berkecamuk.
Bagi Dalem Batu Ireng, satu-satunya cara untuk menghindar dari peperangan adalah dengan moksha (mati) untuk sementara. Setelah tiga hari moksha, Dalem Batu Ireng melanjutkan perjalanan sungai yang berada di sebelah bekas pertapaan Pinatih Dyah Mahogra di Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Disana beliau ingin menceburkan diri untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sebelum meninggalkan dunia ini, Dalem Batu Ireng berkata kepada para pengikutnya bahwa satu-satunya jalan untuk dapat membahagiakan diri adalah dengan menceburkan diri ke dalam sungai. Semenjak itulah sungai tersebut bernama Weayu (we : air, ayu : bahagia), yang lambat laun berkembang menjadi Weayung atau Tukad Ayung.
Setelah Dalem Batu Ireng mencapai moksa, para pengikutnya mendirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Putranya yang bernama Sira Arya Panji kemudian mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur sekitar tahun Çaka 1265. Batu peringatan yang terletak di Sungai Ayung kemudian dikenal bernama Batumenjong.
Seiring berjalannya waktu, ketiga keturunan Ida Dalem Batu Ireng menuju Sungai Ayung yang diikuti oleh Bendesa Manik Mas. Mereka kemudian bertemu di Gaduh mengambil batu peringatan (Batu Sima), dan diletakkan di tepi Sungai Ayung. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung. Bendesa Mas dan Gaduh kemudian membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem, lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di Hutan Ambengan Abian Nangka.
Di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Dalem Batu Ireng moksa, Arya Wang Bang Pinatih (salah satu Arya yang ikut dalam invasi Majapahit ke pulau Bali) bertemu dengan masyarakat Bali, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Simakrama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng yang bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang menerima warisan dari Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang Pinatih mendirikan kerajaan Kertalangu dan mengukuhkan tempat peninggalan Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wraspati Wage Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini.
Setelah berkuasa selama beberapa tahun, kerajaan Kertalangu runtuh akibat konflik yang terjadi antara Arya Wang Bang Pinatih dengan mertuanya, Ki Dukuh Pahang. Untuk menyelamatkan keluarga Puri Kertalangu, Raja berpindah ke daerah Sanur dan kemudian mendirikan pura di Pantai Sanur dengan nama Pura Jumenang. Dengan pindahnya Raja Puri di Kertalangu ke Sanur, maka rakyat Kesiman menjadi tidak terurus dengan baik. Selama bertahun-tahun, wilayah Kesiman menjadi terbengkalai dan banyak bangunan-bangunan suci yang perlahan mulai rusak akibat tak terurus.
Sekian lama terjadi kekosongan wilayah, pada sekitar tahun 1689-1690, putra dari Kyai Anglurah Pemecutan Sakti (Tjokorda Pemecutan III) yang bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri bernama Puri Ageng Pemayun Kesiman. Dalam pemerintahan kerajaan inilah banyak Parhyangan-Parhyangan yang diperbaiki dan dibangun untuk mengambil hati rakyat termasuk Pura Luhur Dalem Mutering Jagat, agar masyarakat Kesiman terutama rakyat iringan raja Arya Wang Bang Penatih menjadi lekat hatinya kepada kerajaan Kesiman.
Narasumber : Jero Mangku Gede Mutering Jagat Kesiman, I Wayan Duana
Daftar Pustaka :
- Supartha, Wayan. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Denpasar: Pustaka Bali Post.
- Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. "Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali". Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
- SatyaWedha. 2018. PURA PETILAN – PURA PANGREBONGAN. https://yanartha.wordpress.com/pura-petilan-pura-pangrebongan, diakses 4 April 2024 pukul 17:42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar