Minggu, 30 Juni 2024

Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat
(Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun)

Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman.

    Setelah raja Pemecutan kedua, Kyai Macan Gading atau Kyai Ketut Pemedilan gugur pada saat pemberontakan I Gusti Agung Maruti di Cedok Andoga segara Watuklotok, posisi raja Pemecutan kemudian digantikan oleh putra beliau yang bernama Kyai Anglurah Pemecutan Sakti.
    Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dikenal mempunyai banyak permaisuri dan selir serta putra-putri yang tak terhitung jumlahnya. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari terbentuknya Warga Ageng Pemecutan, yang bertugas mengamankan dan memperkuat pertahanan kerajaan Badung dan Puri Agung Pemecutan.
    Salah satu putra dari Kyai Anglurah Pemecutan Sakti bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun. Kyai Agung Ngurah Pemayun atau Nararya Anglurah Pambayun (Pemayun) adalah putra kedua Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau juga merupakan saudara kandung dari Kyai Agung Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Gede Pemecutan), raja Pemecutan keempat. 

Mangku Gede Puri Agung Kesiman sebagai sadeg (pemeran) Ratu Pemayun Cakraningrat. (Foto : Dok. Pribadi)


    Setelah dewasa, beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan yang diakibatkan oleh Dalem Benculuk Tegeh Kuri di Tonja. Untuk keperluan tersebut, beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari raja Tabanan, Sirarya Ngurah Langwang kepada adiknya, Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin di luar Puri Agung Tabanan, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira.
    Setelah berhasil menguasai wilayah Tonja melalui perang tanding dengan Dalem Benculuk Tegeh Kuri pada sekitar tahun 1689 M, Kyai Agung Ngurah Pemayun selanjutnya membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman, dengan pasukan intinya yang dijuluki Poleng Kesiman. Pada masa pemerintahan beliau, daerah Kesiman yang dahulu ditinggalkan oleh penguasa Puri Kertalangu, Arya Wang Bang Pinatih kemudian secara perlahan mulai dilakukan penataan ulang demi menarik hati masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan perbaikan terhadap sejumlah Pura di Kesiman, termasuk Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman dan Pura Agung Petilan (Pura Pengrebongan). Selain itu, beliau ditugaskan oleh ayahandanya sebagai pengempon dari Pura Luhur Sakenan, yang kini telah berpindah tugas kepada keluarga di Puri Agung Kesiman setelah terjadi perpindahan kekuasaan di daerah Kesiman.

Ritual Pengrebongan


    
Meru Tumpang 11 linggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman. (Foto : Tropenmuseum)

    Kyai Agung Ngurah Pemayun menikah dengan seorang permaisuri yang berasal dari Puri Gelogor dan beberapa orang selir. Dari hasil pernikahan tersebut, beliau memiliki lima orang putra : 
  • Dari sang permaisuri, lahir dua orang putra bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra dan Kyai Agung Ngurah Made, yang selanjutnya keduanya meneruskan kepemimpinan ayahandanya di Puri Pemayun Kesiman. 
  • Kemudian dari seorang selir warga Pande di Wangaya Kaja, lahir seorang putra bernama Kyai Agung Lanang Wangaya yang membangun Jero Pemayun Abiantubuh dan juga menurunkan Pasemetonan Agung Puri Pemayun Kesiman. 
  • Dan dari dua orang selir lainnya, keduanya melahirkan putra yang bernama Kyai Agung Ketut Pagan yang membangun Jero Kajanan Batanbuah dan Kyai Agung Lanang Desa yang membangun Jero Kebonkuri.
    Entah sudah berapa lama bertahta di Kesiman, Kyai Agung Ngurah Pemayun kemudian jatuh sakit dan akhirnya wafat. Beliau kemudian dibuatkan sebuah upacara Pelebon dan kemudian diberi gelar Bhatara Ratu Pemayun Cakraningrat. 
    Menurut penuturan mangku gede Puri Agung Kesiman, I Gusti Ngurah Aryana, nama tersebut juga memiliki sebuah makna, dimana Pemayun selain merupakan nama asli beliau, juga dapat diartikan sebagai Pemahayu yang berarti mensejahterakan. Kemudian Cakraningrat yang jika diuraikan memiliki dua kata, yaitu cakra dan ningrat. Cakra adalah sebuah senjata berputar yang memiliki bentuk menyerupai roda, dalam konteks kebangsawanan dan kekuasaan, cakra sering melambangkan kekuasaan atau pengaruh yang luas, karena cakra dianggap sebagai simbol kekuasaan yang terus berputar dan meliputi segala sesuatu.
    Sedangkan kata Ningrat berasal dari akar kata "rat", yang berarti "dunia" atau "alam semesta," dan "ing," yang merupakan partikel yang menunjukkan kepemilikan atau yang termasuk di dalamnya. "Ningrat" secara harfiah berarti "yang dari dunia" atau "yang termasuk dalam dunia bangsawan", dengan konotasi kebangsawanan atau status tinggi. Jadi, Ratu Pemayun Cakraningrat memiliki makna yaitu seorang raja yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mensejahterakan rakyatnya.

Narasumber : Mangku Gede Puri Agung Kesiman, I Gusti Ngurah Aryana yang juga keluarga Puri Pemayun Kesiman Saren Kanginan.
Sumber :
  • Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
  • Tim Penyusun Babad Dan Sejarah Tiga Puri Agung Di Badung. 2006. Puri Agung Pemecutan, Puri Pemayun Kedaton Kesiman Dan Puri Agung Denpasar Menurut Babad Dan Sejarahnya. Denpasar
  • Lontar Babad Badung versi 01 dan 02, koleksi Museum Gedong Kirtya, Singaraja.
  • Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna, Gianyar
Sumber internet : 

Senin, 10 Juni 2024

Purana Puri Pemayun Kesiman

Purana (Silsilah)
Puri Pemayun Kedatuan Kesiman




1. Arya Damar/Sri Adityawarman/Sri Nararya Damar, madeg nata ring Pagaruyung (Palembang), berputra :
1.1. Arya Kenceng, ring Pucangan, Tabanan
1.2. Arya Belog, ring Kaba-Kaba, Tabanan
1.3. Arya Dhalancang, ring Kapal

2. Arya Kenceng/Sri Nararya Kenceng (Ida Bhatara Pucangan), berputra :
2.1. Dewa Raka/Sri Magada Prabhu
2.2. Dewa Rai/Arya Yasan/Sri Magada Nata
2.3. Kyai Tegeh/Arya Kenceng Tegeh Kori di Puri Tegeh Kori, Tegal
2.4. Nyi Luh Tegeh

3. Sri Magada Nata, berputra :
3.1. Kyai Ketut Pucangan/Kyai Ketut Bandesa/Kyai Notor Wandira/Kyai Nyoman Tegeh (kadarma putra olih Kyai Arya Kenceng Tegeh Kori I)

4. Kyai Nyoman Tegeh, berputra : 
4.1. Kyai Gede Raka/Kyai Pakpak

5. Kyai Gede Raka, berputra :
5.1. Kyai Putu Tegeh
5.1. Kyai Bebed/Kyai Jambe Pule/Kyai Biket, ngewangun Puri Nambangan

6. Kyai Jambe Pule (Ida Bhatara Bandana), Anglurah Pemecutan I, berputra :
6.1. Kyai Anglurah Jambe Merik, mewangun Puri Alang Badung
6.2. Kyai Ketut Pemedilan/Kyai Macan Gading, ngewangun Puri Agung Pemecutan
6.3. Kyai Gede Mangku/Kyai Tumbak Bayuh, ngewangun Puri Agung Gelogor

7. Kyai Ketut Pemedilan (Ida Bhatara Mur Ring Watuklotok), Anglurah Pemecutan II, berputra :
7.1. Kyai Made Tegal Cempaka
7.2. Kyai Ngurah Pemecutan Sakti
7.3. Kyai Ketut Uruju Telabah

8. Kyai Ngurah Pemecutan Sakti (Ida Bhatara Maharaja Sakti Pemecutan), Anglurah Pemecutan III, berputra : 
8.1. Kyai Agung Ngurah Pemecutan
8.2. Kyai Agung Ngurah Pemayun, ngewangun Puri Pemayun Kesiman
8.3. Kyai Agung Gede Oka, ngewangun Puri Kaleran Kawan Pemecutan

9. Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ida Ratu Pemayun Cakraningrat/Ratu Pemayun Agung), berputra :
9.1. Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra
9.2. Kyai Agung Ngurah Made
9.3. Kyai Agung Lanang Wangaya, ngewangun Jero Pemayun Abiantubuh
9.4. Kyai Agung Ketut Pagan, ngewangun Jero Kajanan Batanbuah
9.5. Kyai Agung Lanang Desa, ngewangun Jero Kebonkuri


Kesiman, 10 Juni 2024

Rabu, 05 Juni 2024

Kyai Agung Made Oka

Kyai Agung Made Oka

   I Gusti Made Oka atau Kyai Agung Made Oka (Anak Agung Made Oka) adalah salah satu tokoh penglingsir di Puri Ageng Pemayun Kesiman. Tidak ada yang tahu secara pasti tahun kelahirannya, namun diperkirakan saat beliau wafat umurnya telah mencapai lebih dari 100 tahun. 
    Beliau merupakan putra ke-2 dari Kyai Agung Putu Dangin dengan istrinya yang berasal dari Jero Gede Taensiat. Kyai Agung Made Oka memiliki beberapa orang istri, antara lain adalah sebagai berikut :
  • Dengan Anak Agung Luh Kandel, mempunyai beberapa putra-putri :
    • Anak Agung Putu Oka (Saren Delod)
    • Anak Agung Putu Ketut (Pengruran Oongan I)
    • Anak Agung Putu Ngurah (Pengruran Oongan II)
    • Anak Agung Putu Made, menikah dengan ayah dari Ir. Anak Agung Ngurah Dangin Tangluk
    • Anak Agung Putu Rai
    • Anak Agung Putu Adi, menikah dengan Tjokorda Alit Ngurah (regent van Badoeng) di Puri Agung Denpasar dan memiliki seorang putra bernama Tjokorda Agung Tresna, pahlawan kemerdekaan Indonesia yang gugur dalam perang melawan kolonialisme Belanda pada 29 Juni 1947. 
  • Dengan Jero Dangin, mempunyai putri bernama Anak Agung Ketut Rai yang menikah dengan Anak Agung Made Puger.
  • Dengan Jero Kanjeng dari Banjar Abian Kapas, tidak mempunyai anak (putung)
   Kyai Agung Made Oka diketahui memiliki pengetahuan dan keahlian dalam berbagai bidang keagamaan, yaitu bidang kepanditaan, pembangunan dan padewasan, hingga bidang spiritual (Niskala) serta pengobatan tradisional (Usada), sehingga beliau mendapatkan julukan "Gungkak Balian." Beliau memiliki banyak sisya (murid) yang sebagian besar muridnya merupakan seorang Pedanda ataupun Pemangku, salah satunya adalah Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Taman Sari, Sanur. 
    Selain dalam bidang yang disebutkan diatas, beliau juga memiliki keahlian dalam menulis lontar yang dimana setiap lontar yang ia tulis selalu ditandai dengan nama julukannya yang lain, yaitu "Mangku Ringgit." Julukan tersebut tiada lain adalah dikarenakan beliau juga merupakan seorang dalang wayang kulit. Hingga kini, koleksi lontar dan seperangkat wayang milik beliau masih tersimpan dengan rapi di dalam gedong di Puri. 

Bade tumpang sia (9) pada upacara Pelebon I Gusti Putu Raka dan I Gusti Made Oka yang dibuat oleh Ida Pedanda Made Sidemen.

    Kyai Agung Made Oka dan kakaknya, I Gusti Putu Raka tutup usia di hari yang sama, yakni pada tanggal 26 Juli 1955, namun baru dilaksanakan upacara Pelebon setahun setelah mereka wafat, yakni pada tanggal 20 Juli 1956. Setelah upacara Pelebon dilaksanakan, kemudian dilaksanakan prosesi Maligia dimana keduanya dilinggihkan sebagai Raja Bhatara di Merajan Gede Puri Pemayun Kesiman.

Senin, 27 Mei 2024

Merajan Gede

Merajan Gede Puri Ageng Pemayun Kesiman

    Diceritakan bahwa setelah berdirinya Puri Agung Kesiman pada sekitar tahun 1813, yang disertai dengan dibongkar dan dipindahkannya pamerajan Puri Pemayun Kesiman, sebagian masyarakat Kesiman kemudian memohon kepada I Gusti Alit Ngurah, salah satu putra Puri Pemayun Kesiman yang telah menetap di Penatih, untuk berkenan kembali ke Puri, mengingat Puri Pemayun Kesiman perlu dibangun kembali. I Gusti Alit Ngurah berkenan untuk kembali dan membangun Purinya tersebut yang kini menghadap ke selatan. 

Setelah selesai membangun kembali Puri Pemayun Kesiman, beliau kemudian mendirikan sebuah pamerajan baru yang diberi nama Merajan Gede, dimana yang melinggih adalah Ida Ratu Made Agung dan Ida Ratu Pemayun Putra beserta para leluhur-leluhur Puri yang lainnya.

Pada tahun 2000, atas gagasan dari Ir. I Gusti Bagus Oka, MT (Ida Nararya Oka Pemayun), diadakan pembongkaran dan renovasi terhadap Merajan Gede dan Merajan Suci. Dalam renovasi tersebut, bentuk pelinggih-pelinggih di kedua merajan tersebut yang semula menggunakan pepalihan berbahan batu bata dengan piring-piring Cina, kini menggunakan pepalihan dengan kombinasi bata dan paras, namun tanpa piring-piring seperti dahulu. Kori Agung Merajan Suci yang dahulunya berbentuk Candi Bentar, kemudian diubah menjadi berbentuk Gelung Agung bertingkat tiga.



Petoyan
    Patirtan atau petoyan serta pangilen-ilen di Merajan Gede dilaksanakan pada setiap rainan Purnama Sasih Kasa.

Pelinggih-Pelinggih
- Padmasana dan Apit Lawang
- Ratu Taksu
- Ratu Tambang Badung/Saren
- Ratu Gunung Batukaru
- Tajuk Bunter
- Ratu Pemayun Putra
- Ratu Made Agung
- Ratu Manik Suci
- Ratu Urasana
- Ratu Hyang
- Menjangan Saluang
- Raja Bhatara (I Gusti Putu Raka dan Kyai Agung Made Oka)
- Kemulan
- Ratu Ngerurah Agung
- Tajuk Ratu Made Agung dan Tajuk Ratu Hyang
- Ratu Ngerurah Macan Gading (Taru Bingin)

Sumber :
  • Tim Penyusun Babad Dan Sejarah Tiga Puri Agung Di Badung. 2006. Puri Agung Pemecutan, Puri Pemayun Kedaton Kesiman Dan Puri Agung Denpasar Menurut Babad Dan Sejarahnya. Denpasar

Sabtu, 25 Mei 2024

Puri Agung Kesiman

Sejarah Puri Agung Kesiman
(1813 - sekarang)


    Puri Agung Kesiman yang beralamat di Jalan Surabi No. 2, Banjar Dangin Tangluk, Kesiman ini, mempunyai latar belakang sejarah yang masih berhubungan dengan Puri Pemayun Kesiman, dimana sejarahnya adalah sebagai berikut :

Diceritakan sekitar awal abad ke-18, penguasa terakhir di Kesiman, Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, wafat akibat sebuah penyakit yang misterius. Putri dari Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, I Gusti Ayu Agung yang merasa sedih dan bingung karena tidak tahu bagaimana tatacara melaksanakan upacara Pelebon untuk ayahnya itu, mengutus prabekel I Wayan Gara untuk memohon bantuan ke Puri Agung Pemecutan.

Prabekel I Wayan Gara tidak menuju ke Puri Agung Pemecutan, melainkan ke Puri Agung Denpasar. Dimana saat itu, kondisi di Puri tersebut sedang memanas akibat konflik perebutan takhta kerajaan di antara dua putra I Gusti Ngurah Made Pemecutan, yaitu putra yang lahir dari putri Kyai Lanang Pegandan bernama Kyai Agung Gede Kesiman, dengan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, putra dari janda Kyai Anglurah Jambe Ksatria. Konflik itu terjadi karena keduanya merasa paling berhak untuk menggantikan ayahandanya.

Untuk menghindari pertikaian tersebut, kemudian I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengadakan konsultasi dengan pamannya di Puri Agung Pemecutan yaitu Kyai Anglurah Pemecutan VI (1770-1810). Mengingat adanya kekosongan di Puri Pemayun Kesiman, atas kesepakatan Raja Denpasar dan Raja Pemecutan, maka ditunjuklah Kyai Agung Gede Kesiman untuk menempati Puri Pemayun Kesiman dengan cara menikahi putri di Puri Pemayun Kesiman.

Setelah Kyai Agung Gede Kesiman menempati Puri Pemayun Kesiman dan menikahi I Gusti Ayu Agung, maka segera digelar upacara palebon bagi seluruh penglingsir Puri Pemayun Kesiman, yang dilanjutkan dengan upacara maligia atau penileman di pantai Sanur, dan ngeinggihang di Pamerajan Puri Pemayun Kesiman sebagaimana mestinya.

Kyai Agung Gede Kesiman (I Gusti Gede Ngurah Kesiman)

Tiada lama kemudian para putra Puri Pemayun Kesiman yang tadinya meninggalkan puri, atas permintaan masyarakatnya, berkenan kembali ke Puri Pemayun Kesiman untuk melaksanakan titah dari para leluhurnya. Mereka sadar akan kewajibannya setelah mendengar adanya putra dari Puri Agung Denpasar menempati Purinya. Putra-putra Puri Pemayun Kesiman itu kembali dan menuntut haknya.

Kyai Agung Gede Kesiman tidak mau mengambil resiko. Beliau segera membuat puri baru dengan membongkar dan memindahkan apa saja yang bisa dipindahkan dari Puri Pemayun Kesiman, termasuk bangunan pamerajan Puri Pemayun Kesiman. Puri yang baru itu diberi nama Puri Agung Kesiman dan perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1813. Dengan adanya Puri Agung Kesiman, sanak saudara dari Kyai Agung Gede Kesiman di Puri Agung Denpasar menyusul ke kawasan itu untuk membangun pemukiman sehingga berdiri sejumlah Puri-Puri kecil seperti Puri Anyar Kesiman, Puri Kelodan Kesiman, Puri Kajanan Kesiman, Puri Belaluan Kesiman, dan lain-lain.

Pamerajan Puri Agung Kesiman

Meru Tumpang 11 linggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman.


I Gusti Alit Ngurah, salah seorang putra Puri Pemayun Kesiman yang sempat pindah ke Penatih, atas permintaan dari beberapa warga kemudian berkenan untuk kembali ke Puri Pemayun Kesiman. Beliau kemudian membangun kembali Puri Pemayun Kesiman yang kini menghadap ke selatan, serta mendirikan pamerajan baru yang disebut Pamerajan Gede atau Pamerajan Agung, dimana yang melinggih disana adalah Ida Bhatara Ratu Made Agung dan Ida Bhatara Ratu Pemayun Putra.

Agar Puri Pemayun Kesiman tidak berkembang lagi, maka Puri Agung Kesiman berusaha memindahkan Pura disekitar desa Kesiman ke lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman. Pura-pura yang dipindahkan tersebut adalah Pura Sentaka, Pura Maling Kiuh, dan Pura Meregan di sebelah barat, di sebelah utara Pura Kebon, di sebelah timur Bale Agung, dan Pura Mara di jaba tengah dari lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman dahulu.

Puputan Badung 1906


Pada 18 September 1906, Puri Agung Kesiman diduduki Belanda setelah raja Badung dari Puri tersebut, I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906) tewas dibunuh oleh Ida Bagus Brego, seorang pembelot yang tidak setuju dengan kebijakan raja untuk berperang melawan Belanda. Pendudukan Puri Agung Kesiman berlatarkan penolakan para raja Badung terkait pembayaran ganti rugi kepada Belanda atas hilangnya muatan kapal dagang berbendera Belanda Sri Kumala yang terdampar di Sanur. Para Raja Badung sebagai konsekuensinya harus menerima ganjaran dari Belanda dan sepakat untuk memerangi Belanda demi mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung. Perang ini kemudian dikenal sebagai Puputan Badung.

Raja-Raja Puri Agung Kesiman
- I Gusti Gede Ngurah Kesiman (1813 - 1865)
- I Gusti Ngurah Ketut Kesiman (1865 - 1875)
- I Gusti Ngurah Agung (1875 - 1890)
- I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906)
(kekuasaan Puri Agung Kesiman jatuh ke tangan Belanda pasca Puputan Badung 1906)
- I Gusti Ngurah Made Kesiman (1927 - 1959) (punggawa distrik Kesiman, dibawah kekuasaan Belanda dan Jepang)
- I Gusti Ngurah Agung Kusuma Yudha (1959 - 1989) (masa awal kemerdekaan Indonesia)
- I Gusti Ngurah Gede Kusuma Wardhana (1989 - sekarang) (masa modern)

Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat (Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun) Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat...