Sabtu, 25 Mei 2024

Puri Agung Kesiman

Sejarah Puri Agung Kesiman
(1813 - sekarang)


    Puri Agung Kesiman yang beralamat di Jalan Surabi No. 2, Banjar Dangin Tangluk, Kesiman ini, mempunyai latar belakang sejarah yang masih berhubungan dengan Puri Pemayun Kesiman, dimana sejarahnya adalah sebagai berikut :

Diceritakan sekitar awal abad ke-18, penguasa terakhir di Kesiman, Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, wafat akibat sebuah penyakit yang misterius. Putri dari Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, I Gusti Ayu Agung yang merasa sedih dan bingung karena tidak tahu bagaimana tatacara melaksanakan upacara Pelebon untuk ayahnya itu, mengutus prabekel I Wayan Gara untuk memohon bantuan ke Puri Agung Pemecutan.

Prabekel I Wayan Gara tidak menuju ke Puri Agung Pemecutan, melainkan ke Puri Agung Denpasar. Dimana saat itu, kondisi di Puri tersebut sedang memanas akibat konflik perebutan takhta kerajaan di antara dua putra I Gusti Ngurah Made Pemecutan, yaitu putra yang lahir dari putri Kyai Lanang Pegandan bernama Kyai Agung Gede Kesiman, dengan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, putra dari janda Kyai Anglurah Jambe Ksatria. Konflik itu terjadi karena keduanya merasa paling berhak untuk menggantikan ayahandanya.

Untuk menghindari pertikaian tersebut, kemudian I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengadakan konsultasi dengan pamannya di Puri Agung Pemecutan yaitu Kyai Anglurah Pemecutan VI (1770-1810). Mengingat adanya kekosongan di Puri Pemayun Kesiman, atas kesepakatan Raja Denpasar dan Raja Pemecutan, maka ditunjuklah Kyai Agung Gede Kesiman untuk menempati Puri Pemayun Kesiman dengan cara menikahi putri di Puri Pemayun Kesiman.

Setelah Kyai Agung Gede Kesiman menempati Puri Pemayun Kesiman dan menikahi I Gusti Ayu Agung, maka segera digelar upacara palebon bagi seluruh penglingsir Puri Pemayun Kesiman, yang dilanjutkan dengan upacara maligia atau penileman di pantai Sanur, dan ngeinggihang di Pamerajan Puri Pemayun Kesiman sebagaimana mestinya.

Kyai Agung Gede Kesiman (I Gusti Gede Ngurah Kesiman)

Tiada lama kemudian para putra Puri Pemayun Kesiman yang tadinya meninggalkan puri, atas permintaan masyarakatnya, berkenan kembali ke Puri Pemayun Kesiman untuk melaksanakan titah dari para leluhurnya. Mereka sadar akan kewajibannya setelah mendengar adanya putra dari Puri Agung Denpasar menempati Purinya. Putra-putra Puri Pemayun Kesiman itu kembali dan menuntut haknya.

Kyai Agung Gede Kesiman tidak mau mengambil resiko. Beliau segera membuat puri baru dengan membongkar dan memindahkan apa saja yang bisa dipindahkan dari Puri Pemayun Kesiman, termasuk bangunan pamerajan Puri Pemayun Kesiman. Puri yang baru itu diberi nama Puri Agung Kesiman dan perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1813. Dengan adanya Puri Agung Kesiman, sanak saudara dari Kyai Agung Gede Kesiman di Puri Agung Denpasar menyusul ke kawasan itu untuk membangun pemukiman sehingga berdiri sejumlah Puri-Puri kecil seperti Puri Anyar Kesiman, Puri Kelodan Kesiman, Puri Kajanan Kesiman, Puri Belaluan Kesiman, dan lain-lain.

Pamerajan Puri Agung Kesiman

Meru Tumpang 11 linggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman.


I Gusti Alit Ngurah, salah seorang putra Puri Pemayun Kesiman yang sempat pindah ke Penatih, atas permintaan dari beberapa warga kemudian berkenan untuk kembali ke Puri Pemayun Kesiman. Beliau kemudian membangun kembali Puri Pemayun Kesiman yang kini menghadap ke selatan, serta mendirikan pamerajan baru yang disebut Pamerajan Gede atau Pamerajan Agung, dimana yang melinggih disana adalah Ida Bhatara Ratu Made Agung dan Ida Bhatara Ratu Pemayun Putra.

Agar Puri Pemayun Kesiman tidak berkembang lagi, maka Puri Agung Kesiman berusaha memindahkan Pura disekitar desa Kesiman ke lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman. Pura-pura yang dipindahkan tersebut adalah Pura Sentaka, Pura Maling Kiuh, dan Pura Meregan di sebelah barat, di sebelah utara Pura Kebon, di sebelah timur Bale Agung, dan Pura Mara di jaba tengah dari lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman dahulu.

Puputan Badung 1906


Pada 18 September 1906, Puri Agung Kesiman diduduki Belanda setelah raja Badung dari Puri tersebut, I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906) tewas dibunuh oleh Ida Bagus Brego, seorang pembelot yang tidak setuju dengan kebijakan raja untuk berperang melawan Belanda. Pendudukan Puri Agung Kesiman berlatarkan penolakan para raja Badung terkait pembayaran ganti rugi kepada Belanda atas hilangnya muatan kapal dagang berbendera Belanda Sri Kumala yang terdampar di Sanur. Para Raja Badung sebagai konsekuensinya harus menerima ganjaran dari Belanda dan sepakat untuk memerangi Belanda demi mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung. Perang ini kemudian dikenal sebagai Puputan Badung.

Raja-Raja Puri Agung Kesiman
- I Gusti Gede Ngurah Kesiman (1813 - 1865)
- I Gusti Ngurah Ketut Kesiman (1865 - 1875)
- I Gusti Ngurah Agung (1875 - 1890)
- I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906)
(kekuasaan Puri Agung Kesiman jatuh ke tangan Belanda pasca Puputan Badung 1906)
- I Gusti Ngurah Made Kesiman (1927 - 1959) (punggawa distrik Kesiman, dibawah kekuasaan Belanda dan Jepang)
- I Gusti Ngurah Agung Kusuma Yudha (1959 - 1989) (masa awal kemerdekaan Indonesia)
- I Gusti Ngurah Gede Kusuma Wardhana (1989 - sekarang) (masa modern)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat (Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun) Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat...