Minggu, 30 Juni 2024

Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat
(Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun)

Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman.

    Setelah raja Pemecutan kedua, Kyai Macan Gading atau Kyai Ketut Pemedilan gugur pada saat pemberontakan I Gusti Agung Maruti di Cedok Andoga segara Watuklotok, posisi raja Pemecutan kemudian digantikan oleh putra beliau yang bernama Kyai Anglurah Pemecutan Sakti.
    Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dikenal mempunyai banyak permaisuri dan selir serta putra-putri yang tak terhitung jumlahnya. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari terbentuknya Warga Ageng Pemecutan, yang bertugas mengamankan dan memperkuat pertahanan kerajaan Badung dan Puri Agung Pemecutan.
    Salah satu putra dari Kyai Anglurah Pemecutan Sakti bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun. Kyai Agung Ngurah Pemayun atau Nararya Anglurah Pambayun (Pemayun) adalah putra kedua Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau juga merupakan saudara kandung dari Kyai Agung Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Gede Pemecutan), raja Pemecutan keempat. 

Mangku Gede Puri Agung Kesiman sebagai sadeg (pemeran) Ratu Pemayun Cakraningrat. (Foto : Dok. Pribadi)


    Setelah dewasa, beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan yang diakibatkan oleh Dalem Benculuk Tegeh Kuri di Tonja. Untuk keperluan tersebut, beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari raja Tabanan, Sirarya Ngurah Langwang kepada adiknya, Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin di luar Puri Agung Tabanan, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira.
    Setelah berhasil menguasai wilayah Tonja melalui perang tanding dengan Dalem Benculuk Tegeh Kuri pada sekitar tahun 1689 M, Kyai Agung Ngurah Pemayun selanjutnya membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman, dengan pasukan intinya yang dijuluki Poleng Kesiman. Pada masa pemerintahan beliau, daerah Kesiman yang dahulu ditinggalkan oleh penguasa Puri Kertalangu, Arya Wang Bang Pinatih kemudian secara perlahan mulai dilakukan penataan ulang demi menarik hati masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan perbaikan terhadap sejumlah Pura di Kesiman, termasuk Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman dan Pura Agung Petilan (Pura Pengrebongan). Selain itu, beliau ditugaskan oleh ayahandanya sebagai pengempon dari Pura Luhur Sakenan, yang kini telah berpindah tugas kepada keluarga di Puri Agung Kesiman setelah terjadi perpindahan kekuasaan di daerah Kesiman.

Ritual Pengrebongan


    
Meru Tumpang 11 linggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman. (Foto : Tropenmuseum)

    Kyai Agung Ngurah Pemayun menikah dengan seorang permaisuri yang berasal dari Puri Gelogor dan beberapa orang selir. Dari hasil pernikahan tersebut, beliau memiliki lima orang putra : 
  • Dari sang permaisuri, lahir dua orang putra bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra dan Kyai Agung Ngurah Made, yang selanjutnya keduanya meneruskan kepemimpinan ayahandanya di Puri Pemayun Kesiman. 
  • Kemudian dari seorang selir warga Pande di Wangaya Kaja, lahir seorang putra bernama Kyai Agung Lanang Wangaya yang membangun Jero Pemayun Abiantubuh dan juga menurunkan Pasemetonan Agung Puri Pemayun Kesiman. 
  • Dan dari dua orang selir lainnya, keduanya melahirkan putra yang bernama Kyai Agung Ketut Pagan yang membangun Jero Kajanan Batanbuah dan Kyai Agung Lanang Desa yang membangun Jero Kebonkuri.
    Entah sudah berapa lama bertahta di Kesiman, Kyai Agung Ngurah Pemayun kemudian jatuh sakit dan akhirnya wafat. Beliau kemudian dibuatkan sebuah upacara Pelebon dan kemudian diberi gelar Bhatara Ratu Pemayun Cakraningrat. 
    Menurut penuturan mangku gede Puri Agung Kesiman, I Gusti Ngurah Aryana, nama tersebut juga memiliki sebuah makna, dimana Pemayun selain merupakan nama asli beliau, juga dapat diartikan sebagai Pemahayu yang berarti mensejahterakan. Kemudian Cakraningrat yang jika diuraikan memiliki dua kata, yaitu cakra dan ningrat. Cakra adalah sebuah senjata berputar yang memiliki bentuk menyerupai roda, dalam konteks kebangsawanan dan kekuasaan, cakra sering melambangkan kekuasaan atau pengaruh yang luas, karena cakra dianggap sebagai simbol kekuasaan yang terus berputar dan meliputi segala sesuatu.
    Sedangkan kata Ningrat berasal dari akar kata "rat", yang berarti "dunia" atau "alam semesta," dan "ing," yang merupakan partikel yang menunjukkan kepemilikan atau yang termasuk di dalamnya. "Ningrat" secara harfiah berarti "yang dari dunia" atau "yang termasuk dalam dunia bangsawan", dengan konotasi kebangsawanan atau status tinggi. Jadi, Ratu Pemayun Cakraningrat memiliki makna yaitu seorang raja yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mensejahterakan rakyatnya.

Narasumber : Mangku Gede Puri Agung Kesiman, I Gusti Ngurah Aryana yang juga keluarga Puri Pemayun Kesiman Saren Kanginan.
Sumber :
  • Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
  • Tim Penyusun Babad Dan Sejarah Tiga Puri Agung Di Badung. 2006. Puri Agung Pemecutan, Puri Pemayun Kedaton Kesiman Dan Puri Agung Denpasar Menurut Babad Dan Sejarahnya. Denpasar
  • Lontar Babad Badung versi 01 dan 02, koleksi Museum Gedong Kirtya, Singaraja.
  • Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna, Gianyar
Sumber internet : 

Senin, 10 Juni 2024

Purana Puri Pemayun Kesiman

Purana (Silsilah)
Puri Pemayun Kedatuan Kesiman




1. Arya Damar/Sri Adityawarman/Sri Nararya Damar, madeg nata ring Pagaruyung (Palembang), berputra :
1.1. Arya Kenceng, ring Pucangan, Tabanan
1.2. Arya Belog, ring Kaba-Kaba, Tabanan
1.3. Arya Dhalancang, ring Kapal

2. Arya Kenceng/Sri Nararya Kenceng (Ida Bhatara Pucangan), berputra :
2.1. Dewa Raka/Sri Magada Prabhu
2.2. Dewa Rai/Arya Yasan/Sri Magada Nata
2.3. Kyai Tegeh/Arya Kenceng Tegeh Kori di Puri Tegeh Kori, Tegal
2.4. Nyi Luh Tegeh

3. Sri Magada Nata, berputra :
3.1. Kyai Ketut Pucangan/Kyai Ketut Bandesa/Kyai Notor Wandira/Kyai Nyoman Tegeh (kadarma putra olih Kyai Arya Kenceng Tegeh Kori I)

4. Kyai Nyoman Tegeh, berputra : 
4.1. Kyai Gede Raka/Kyai Pakpak

5. Kyai Gede Raka, berputra :
5.1. Kyai Putu Tegeh
5.1. Kyai Bebed/Kyai Jambe Pule/Kyai Biket, ngewangun Puri Nambangan

6. Kyai Jambe Pule (Ida Bhatara Bandana), Anglurah Pemecutan I, berputra :
6.1. Kyai Anglurah Jambe Merik, mewangun Puri Alang Badung
6.2. Kyai Ketut Pemedilan/Kyai Macan Gading, ngewangun Puri Agung Pemecutan
6.3. Kyai Gede Mangku/Kyai Tumbak Bayuh, ngewangun Puri Agung Gelogor

7. Kyai Ketut Pemedilan (Ida Bhatara Mur Ring Watuklotok), Anglurah Pemecutan II, berputra :
7.1. Kyai Made Tegal Cempaka
7.2. Kyai Ngurah Pemecutan Sakti
7.3. Kyai Ketut Uruju Telabah

8. Kyai Ngurah Pemecutan Sakti (Ida Bhatara Maharaja Sakti Pemecutan), Anglurah Pemecutan III, berputra : 
8.1. Kyai Agung Ngurah Pemecutan
8.2. Kyai Agung Ngurah Pemayun, ngewangun Puri Pemayun Kesiman
8.3. Kyai Agung Gede Oka, ngewangun Puri Kaleran Kawan Pemecutan

9. Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ida Ratu Pemayun Cakraningrat/Ratu Pemayun Agung), berputra :
9.1. Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra
9.2. Kyai Agung Ngurah Made
9.3. Kyai Agung Lanang Wangaya, ngewangun Jero Pemayun Abiantubuh
9.4. Kyai Agung Ketut Pagan, ngewangun Jero Kajanan Batanbuah
9.5. Kyai Agung Lanang Desa, ngewangun Jero Kebonkuri


Kesiman, 10 Juni 2024

Rabu, 05 Juni 2024

Kyai Agung Made Oka

Kyai Agung Made Oka

   I Gusti Made Oka atau Kyai Agung Made Oka (Anak Agung Made Oka) adalah salah satu tokoh penglingsir di Puri Ageng Pemayun Kesiman. Tidak ada yang tahu secara pasti tahun kelahirannya, namun diperkirakan saat beliau wafat umurnya telah mencapai lebih dari 100 tahun. 
    Beliau merupakan putra ke-2 dari Kyai Agung Putu Dangin dengan istrinya yang berasal dari Jero Gede Taensiat. Kyai Agung Made Oka memiliki beberapa orang istri, antara lain adalah sebagai berikut :
  • Dengan Anak Agung Luh Kandel, mempunyai beberapa putra-putri :
    • Anak Agung Putu Oka (Saren Delod)
    • Anak Agung Putu Ketut (Pengruran Oongan I)
    • Anak Agung Putu Ngurah (Pengruran Oongan II)
    • Anak Agung Putu Made, menikah dengan ayah dari Ir. Anak Agung Ngurah Dangin Tangluk
    • Anak Agung Putu Rai
    • Anak Agung Putu Adi, menikah dengan Tjokorda Alit Ngurah (regent van Badoeng) di Puri Agung Denpasar dan memiliki seorang putra bernama Tjokorda Agung Tresna, pahlawan kemerdekaan Indonesia yang gugur dalam perang melawan kolonialisme Belanda pada 29 Juni 1947. 
  • Dengan Jero Dangin, mempunyai putri bernama Anak Agung Ketut Rai yang menikah dengan Anak Agung Made Puger.
  • Dengan Jero Kanjeng dari Banjar Abian Kapas, tidak mempunyai anak (putung)
   Kyai Agung Made Oka diketahui memiliki pengetahuan dan keahlian dalam berbagai bidang keagamaan, yaitu bidang kepanditaan, pembangunan dan padewasan, hingga bidang spiritual (Niskala) serta pengobatan tradisional (Usada), sehingga beliau mendapatkan julukan "Gungkak Balian." Beliau memiliki banyak sisya (murid) yang sebagian besar muridnya merupakan seorang Pedanda ataupun Pemangku, salah satunya adalah Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Taman Sari, Sanur. 
    Selain dalam bidang yang disebutkan diatas, beliau juga memiliki keahlian dalam menulis lontar yang dimana setiap lontar yang ia tulis selalu ditandai dengan nama julukannya yang lain, yaitu "Mangku Ringgit." Julukan tersebut tiada lain adalah dikarenakan beliau juga merupakan seorang dalang wayang kulit. Hingga kini, koleksi lontar dan seperangkat wayang milik beliau masih tersimpan dengan rapi di dalam gedong di Puri. 

Bade tumpang sia (9) pada upacara Pelebon I Gusti Putu Raka dan I Gusti Made Oka yang dibuat oleh Ida Pedanda Made Sidemen.

    Kyai Agung Made Oka dan kakaknya, I Gusti Putu Raka tutup usia di hari yang sama, yakni pada tanggal 26 Juli 1955, namun baru dilaksanakan upacara Pelebon setahun setelah mereka wafat, yakni pada tanggal 20 Juli 1956. Setelah upacara Pelebon dilaksanakan, kemudian dilaksanakan prosesi Maligia dimana keduanya dilinggihkan sebagai Raja Bhatara di Merajan Gede Puri Pemayun Kesiman.

Senin, 27 Mei 2024

Merajan Gede

Merajan Gede Puri Ageng Pemayun Kesiman

    Diceritakan bahwa setelah berdirinya Puri Agung Kesiman pada sekitar tahun 1813, yang disertai dengan dibongkar dan dipindahkannya pamerajan Puri Pemayun Kesiman, sebagian masyarakat Kesiman kemudian memohon kepada I Gusti Alit Ngurah, salah satu putra Puri Pemayun Kesiman yang telah menetap di Penatih, untuk berkenan kembali ke Puri, mengingat Puri Pemayun Kesiman perlu dibangun kembali. I Gusti Alit Ngurah berkenan untuk kembali dan membangun Purinya tersebut yang kini menghadap ke selatan. 

Setelah selesai membangun kembali Puri Pemayun Kesiman, beliau kemudian mendirikan sebuah pamerajan baru yang diberi nama Merajan Gede, dimana yang melinggih adalah Ida Ratu Made Agung dan Ida Ratu Pemayun Putra beserta para leluhur-leluhur Puri yang lainnya.

Pada tahun 2000, atas gagasan dari Ir. I Gusti Bagus Oka, MT (Ida Nararya Oka Pemayun), diadakan pembongkaran dan renovasi terhadap Merajan Gede dan Merajan Suci. Dalam renovasi tersebut, bentuk pelinggih-pelinggih di kedua merajan tersebut yang semula menggunakan pepalihan berbahan batu bata dengan piring-piring Cina, kini menggunakan pepalihan dengan kombinasi bata dan paras, namun tanpa piring-piring seperti dahulu. Kori Agung Merajan Suci yang dahulunya berbentuk Candi Bentar, kemudian diubah menjadi berbentuk Gelung Agung bertingkat tiga.



Petoyan
    Patirtan atau petoyan serta pangilen-ilen di Merajan Gede dilaksanakan pada setiap rainan Purnama Sasih Kasa.

Pelinggih-Pelinggih
- Padmasana dan Apit Lawang
- Ratu Taksu
- Ratu Tambang Badung/Saren
- Ratu Gunung Batukaru
- Tajuk Bunter
- Ratu Pemayun Putra
- Ratu Made Agung
- Ratu Manik Suci
- Ratu Urasana
- Ratu Hyang
- Menjangan Saluang
- Raja Bhatara (I Gusti Putu Raka dan Kyai Agung Made Oka)
- Kemulan
- Ratu Ngerurah Agung
- Tajuk Ratu Made Agung dan Tajuk Ratu Hyang
- Ratu Ngerurah Macan Gading (Taru Bingin)

Sumber :
  • Tim Penyusun Babad Dan Sejarah Tiga Puri Agung Di Badung. 2006. Puri Agung Pemecutan, Puri Pemayun Kedaton Kesiman Dan Puri Agung Denpasar Menurut Babad Dan Sejarahnya. Denpasar

Sabtu, 25 Mei 2024

Puri Agung Kesiman

Sejarah Puri Agung Kesiman
(1813 - sekarang)


    Puri Agung Kesiman yang beralamat di Jalan Surabi No. 2, Banjar Dangin Tangluk, Kesiman ini, mempunyai latar belakang sejarah yang masih berhubungan dengan Puri Pemayun Kesiman, dimana sejarahnya adalah sebagai berikut :

Diceritakan sekitar awal abad ke-18, penguasa terakhir di Kesiman, Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, wafat akibat sebuah penyakit yang misterius. Putri dari Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, I Gusti Ayu Agung yang merasa sedih dan bingung karena tidak tahu bagaimana tatacara melaksanakan upacara Pelebon untuk ayahnya itu, mengutus prabekel I Wayan Gara untuk memohon bantuan ke Puri Agung Pemecutan.

Prabekel I Wayan Gara tidak menuju ke Puri Agung Pemecutan, melainkan ke Puri Agung Denpasar. Dimana saat itu, kondisi di Puri tersebut sedang memanas akibat konflik perebutan takhta kerajaan di antara dua putra I Gusti Ngurah Made Pemecutan, yaitu putra yang lahir dari putri Kyai Lanang Pegandan bernama Kyai Agung Gede Kesiman, dengan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, putra dari janda Kyai Anglurah Jambe Ksatria. Konflik itu terjadi karena keduanya merasa paling berhak untuk menggantikan ayahandanya.

Untuk menghindari pertikaian tersebut, kemudian I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengadakan konsultasi dengan pamannya di Puri Agung Pemecutan yaitu Kyai Anglurah Pemecutan VI (1770-1810). Mengingat adanya kekosongan di Puri Pemayun Kesiman, atas kesepakatan Raja Denpasar dan Raja Pemecutan, maka ditunjuklah Kyai Agung Gede Kesiman untuk menempati Puri Pemayun Kesiman dengan cara menikahi putri di Puri Pemayun Kesiman.

Setelah Kyai Agung Gede Kesiman menempati Puri Pemayun Kesiman dan menikahi I Gusti Ayu Agung, maka segera digelar upacara palebon bagi seluruh penglingsir Puri Pemayun Kesiman, yang dilanjutkan dengan upacara maligia atau penileman di pantai Sanur, dan ngeinggihang di Pamerajan Puri Pemayun Kesiman sebagaimana mestinya.

Kyai Agung Gede Kesiman (I Gusti Gede Ngurah Kesiman)

Tiada lama kemudian para putra Puri Pemayun Kesiman yang tadinya meninggalkan puri, atas permintaan masyarakatnya, berkenan kembali ke Puri Pemayun Kesiman untuk melaksanakan titah dari para leluhurnya. Mereka sadar akan kewajibannya setelah mendengar adanya putra dari Puri Agung Denpasar menempati Purinya. Putra-putra Puri Pemayun Kesiman itu kembali dan menuntut haknya.

Kyai Agung Gede Kesiman tidak mau mengambil resiko. Beliau segera membuat puri baru dengan membongkar dan memindahkan apa saja yang bisa dipindahkan dari Puri Pemayun Kesiman, termasuk bangunan pamerajan Puri Pemayun Kesiman. Puri yang baru itu diberi nama Puri Agung Kesiman dan perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1813. Dengan adanya Puri Agung Kesiman, sanak saudara dari Kyai Agung Gede Kesiman di Puri Agung Denpasar menyusul ke kawasan itu untuk membangun pemukiman sehingga berdiri sejumlah Puri-Puri kecil seperti Puri Anyar Kesiman, Puri Kelodan Kesiman, Puri Kajanan Kesiman, Puri Belaluan Kesiman, dan lain-lain.

Pamerajan Puri Agung Kesiman

Meru Tumpang 11 linggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Puri Agung Kesiman.


I Gusti Alit Ngurah, salah seorang putra Puri Pemayun Kesiman yang sempat pindah ke Penatih, atas permintaan dari beberapa warga kemudian berkenan untuk kembali ke Puri Pemayun Kesiman. Beliau kemudian membangun kembali Puri Pemayun Kesiman yang kini menghadap ke selatan, serta mendirikan pamerajan baru yang disebut Pamerajan Gede atau Pamerajan Agung, dimana yang melinggih disana adalah Ida Bhatara Ratu Made Agung dan Ida Bhatara Ratu Pemayun Putra.

Agar Puri Pemayun Kesiman tidak berkembang lagi, maka Puri Agung Kesiman berusaha memindahkan Pura disekitar desa Kesiman ke lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman. Pura-pura yang dipindahkan tersebut adalah Pura Sentaka, Pura Maling Kiuh, dan Pura Meregan di sebelah barat, di sebelah utara Pura Kebon, di sebelah timur Bale Agung, dan Pura Mara di jaba tengah dari lokasi bekas Puri Pemayun Kesiman dahulu.

Puputan Badung 1906


Pada 18 September 1906, Puri Agung Kesiman diduduki Belanda setelah raja Badung dari Puri tersebut, I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906) tewas dibunuh oleh Ida Bagus Brego, seorang pembelot yang tidak setuju dengan kebijakan raja untuk berperang melawan Belanda. Pendudukan Puri Agung Kesiman berlatarkan penolakan para raja Badung terkait pembayaran ganti rugi kepada Belanda atas hilangnya muatan kapal dagang berbendera Belanda Sri Kumala yang terdampar di Sanur. Para Raja Badung sebagai konsekuensinya harus menerima ganjaran dari Belanda dan sepakat untuk memerangi Belanda demi mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung. Perang ini kemudian dikenal sebagai Puputan Badung.

Raja-Raja Puri Agung Kesiman
- I Gusti Gede Ngurah Kesiman (1813 - 1865)
- I Gusti Ngurah Ketut Kesiman (1865 - 1875)
- I Gusti Ngurah Agung (1875 - 1890)
- I Gusti Ngurah Mayun (1890 - 1906)
(kekuasaan Puri Agung Kesiman jatuh ke tangan Belanda pasca Puputan Badung 1906)
- I Gusti Ngurah Made Kesiman (1927 - 1959) (punggawa distrik Kesiman, dibawah kekuasaan Belanda dan Jepang)
- I Gusti Ngurah Agung Kusuma Yudha (1959 - 1989) (masa awal kemerdekaan Indonesia)
- I Gusti Ngurah Gede Kusuma Wardhana (1989 - sekarang) (masa modern)

Jumat, 05 April 2024

Arya Benculuk dan Dalem Benculuk Tegeh Kuri

Pura Dalem Benculuk Tegeh Kuri, Tonja (Foto : Foursquare)


    Diceritakan bahwa saat berlangsungnya invasi Majapahit pada tahun 1343 M yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Sri Arya Damar (Adityawarman), terdapat beberapa orang Arya yang ikut serta dalam penyerangan tersebut. Salah satu diantaranya adalah Arya Benculuk, yang dimana setelah invasi berhasil dilaksanakan, ia kemudian ditugaskan sebagai seorang demung yang berkedudukan di desa Tangkas, Klungkung bersama dengan Arya Kanuruhan. Arya Benculuk kemudian menikah dan mempunyai seorang putra bernama Kyai Tangkas. Kyai Tangkas kemudian memutuskan untuk pindah dari desa Tangkas menuju sebuah desa kecil di wilayah timur kerajaan Badung yang bernama Tonja.

    Setelah bertempat tinggal di Tonja, Kyai Tangkas membuat Puri yang indah dengan memiliki banyak rakyat serta membangun Pura yang dipandang perlu untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pada suatu ketika, Dalem Ketut Ngulesir atau Sri Semara Kapakisan putra Dalem Samprangan, yang beristana di Puri Sweca Linggarsa Pura, Gelgel mempunyai masalah dengan abdinya yang bernama I Ngurah Lokongjaya, Prabekel Kaliungu. Ida Dalem memanggil I Lokongjaya dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantarkan surat yang amat penting kepada Kyai Tangkas yang sudah bertempat tinggal di Tonja. Setelah sampai di Desa Tonja, abdi tersebut bertemu dengan I Gusti Bagus Anom yang merupakan putra dari Kyai Tangkas, yang gemar sabungan ayam. Sambil menunggu kadatangan Kyai Tangkas, keduanya bermain sabungan ayam sampai sore. Sudah cukup lama mereka menunggu dan malam sudah menjelang tiba, lalu I Gusti Bagus Anom bertanya kepada I Lokongjaya: "Hendak kemanakah Paman selanjutnya?". Abdi tersebut menjawab: "Hamba hendak menghaturkan surat kepada ayahanda tuanku". I Gusti Bagus Anom akhirnya menyuruh abdi tersebut untuk pulang dan surat tersebut diambilnya, hendak diserahkan sendiri kepada ayahandanya. Tiada lama datanglah Kyai Tangkas disambut oleh putranya sambil menyerahkan surat yang dibawa oleh I Lokongjaya. Setelah surat tersebut dibacanya, betapa kagetnya beliau karena dalam surat tersebut tertera suatu perintah " Bunuhlah orang yang membawa surat ini" Karena setianya kepada Ida Dalem dan untuk itu apapun perintah Baginda harus dilaksanakan, maka tiada pilihan baginya. Akhirnya dengan berat hati anaknya dibunuh, walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya kesalahan putra kesayangannya itu. 

    Setelah anaknya terbunuh, Kyai Tangkas menjadi malas menghadap Ida Dalem di Gelgel. Diceritakan, pada suatu saat Dalem mengutus seseorang meminta agar Kyai Tangkas berkenan menghadap Ida Dalem di Gelgel. Saat Kyai Tangkas menghadap Ida Dalem bersabda, "Hai Kyai Tangkas hanya membunuh seorang abdi saja tidak bisa". Kyai Tangkas menyembah dan berkata bahwa apa yang tertera dalam surat itu sudah dilaksanakan yakni si pembawa surat telah dibunuh, dan orang itu adalah I Gusti Bagus Anom anaknya sendiri. Ida Dalem terkejut mendengarnya. Sedih, marah, kesal dan menyesal bercampur baur dalam hati Ida Dalem. 

    Karena merasa kasihan kepada Kyai Tangkas yang memiliki putra satu-satunya telah dibunuh sendiri, maka Ida Dalem pada saat itu memberikan salah seorang putra laki-lakinya kepada Kyai Tangkas untuk diasuh. Namun ketika pertemuan masih berlangsung, putra Ida Dalem itu lari ke arah Ida Dalem dan naik dari arah belakang baginda (uli duri/kuri - bahasa Bali) seraya meraba kepala ayahnya - Sri Dalem Semara Kepakisan. Ida Dalem menjadi sangat marah. Atas kehendak Ida Hyang Prama Kawi putra Dalem tersebut akhirnya diserahkan kepada Kyai Tangkas untuk diangkat anak, mengingat Kyai Tangkas tidak memiliki putra lagi dan diberikan gelar Dalem Benculuk Tegeh Kuri. Demikianlah secara turun temurun keturunannya disebut Dalem Benculuk Tegeh Kuri di Tonja, Badung.

    Dikisahkan kemudian, pada masa pemerintahan Puri Alang Badung dan Puri Agung Pemecutan yang digerakkan oleh Kyai Anglurah Pemecutan Sakti, sering terjadi gangguan keamanan di sisi timur kerajaan seperti di Sumerta dan sekitarnya. Maka diperintahkanlah putra Kyai Anglurah Pemecutan Sakti yang beribu dari Puri Gelogor bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun untuk memimpin pasukan pengamanan di wilayah timur dengan upaya yang pertama melakukan perdamaian dengan Arya Benculuk Tegeh Kuri yang sering melakukan kekacauan di kawasan itu. Untuk keperluan tersebut beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari Prabu Pucangan kepada Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira. Kenyataannya perdamaian tidak bisa dilakukan, mungkin karena Arya Benculuk merasa keturunan Dalem, sehingga pertempuran tidak bisa dihindari. Pertempuran sengit ini terjadi sekitar tahun 1689 M. Dalam pertempuran itu Arya Benculuk Tegeh Kuri kalah. Maka seluruh keturunannya diturunkan derajatnya menjadi orang biasa dengan panggilan Guru atau Bapa. Di samping itu Arya Benculuk dan keturunannya mengalih berpencar ke tempat lain. 

    Kyai Agung Ngurah Pemayun (Nararya Anglurah Pemayun) adalah putra kedua dari Raja Pemecutan III Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan. Selanjutnya Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman dengan pasukan intinya yang dijuluki "Poleng Kesiman."

Sumber :
  • Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna, Gianyar
  • Transkripsi Puri Pemayun Kedatuan, Kesiman

Kamis, 04 April 2024

Sejarah Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman

Foto : Google Maps


    Desa Adat Kesiman merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kota Denpasar bagian timur. Secara garis besar, Desa Adat Kesiman dibagi menjadi dua wilayah, yakni Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu. Di Desa Kesiman Kertalangu, terdapat salah satu situs bangunan Pura kuno yang konon telah berdiri sejak jaman kerajaan Kertalangu, yakni Pura Luhur Dalem Mutering Jagat.
    Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman adalah sebuah Pura (tempat pemujaan Tuhan bagi para umat Hindu Bali) yang berlokasi di sebelah sungai Tukad Ayung, di dekat wilayah bekas kerajaan Puri Kertalangu (Anglurah Wang Bang Pinatih). Di Pura ini, berstana dua Bhatara (dewa) lanang-wadon (laki-perempuan) yang bergelar Ida Bhatara Dalem Mutering Jagat Mekalihan dan juga para prasanak-prasanak beliau.
    Sebelum Puri Kertalangu berdiri, dulunya area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman hingga pinggir pantai Padanggalak adalah sebuah hutan yang disebut Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Hutan tersebut merupakan wilayah kekuasaan dari penguasa yang berstana di Tampur Hyang (Batur), dan juga tempat yang digunakan oleh raja untuk berburu binatang. Karena wilayah hutan yang sangat luas, maka ditempatkanlah salah seorang patih yang bernama Pinatih Dyah Mahogra. Lambat laun, Pinatih Dyah Mahogra membangun sebuah pertapaan di tengah hutan tersebut yang dimana tempat pertapaan beliau diyakini berada di area Pura Luhur Dalem Mutering Jagat Kesiman sekarang.
    Sekitar tahun Çaka 1247 (1325 M), seorang raja bernama Dalem Batu Ireng melakukan perjalanan melewati desa-desa seperti Gelgel, Taro, Batuaji, Batuasih, Kalangangendis, dan Tampur Hyang. Tujuan pengembaraan beliau adalah untuk membangun Parhyangan Dalem yang bernama Pura Dalem Tungkub, yang kemudian diempon oleh Pasek Dangka. Setelah membangun Pura Dalem Tungkub, beliau kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bukit Bali, Batu Belig, dan Sumerta.
    Ketika sampai di Sumerta, penguasa daerah disana yang bernama Anglurah Bongaya dan Anglurah Tebongkang meragukan dan mencurigai tujuan Dalem Batu Ireng. Oleh karena itu, Dalem Batu Ireng tidak jadi membangun Parhyangan Dalem disana. Beliau pun kemudian melanjutkan anjang sananya menuju desa Tangkas, untuk menghindari suatu perang yang tengah berkecamuk.
    Bagi Dalem Batu Ireng, satu-satunya cara untuk menghindar dari peperangan adalah dengan moksha (mati) untuk sementara. Setelah tiga hari moksha, Dalem Batu Ireng melanjutkan perjalanan sungai yang berada di sebelah bekas pertapaan Pinatih Dyah Mahogra di Alas Buruan Aji Pategaling Magalak. Disana beliau ingin menceburkan diri untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sebelum meninggalkan dunia ini, Dalem Batu Ireng berkata kepada para pengikutnya bahwa satu-satunya jalan untuk dapat membahagiakan diri adalah dengan menceburkan diri ke dalam sungai. Semenjak itulah sungai tersebut bernama Weayu (we : air, ayu : bahagia), yang lambat laun berkembang menjadi Weayung atau Tukad Ayung.
    Setelah Dalem Batu Ireng mencapai moksa, para pengikutnya mendirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Putranya yang bernama Sira Arya Panji kemudian mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur sekitar tahun Çaka 1265. Batu peringatan yang terletak di Sungai Ayung kemudian dikenal bernama Batumenjong. 
    Seiring berjalannya waktu, ketiga keturunan Ida Dalem Batu Ireng menuju Sungai Ayung yang diikuti oleh Bendesa Manik Mas. Mereka kemudian bertemu di Gaduh mengambil batu peringatan (Batu Sima), dan diletakkan di tepi Sungai Ayung. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung. Bendesa Mas dan Gaduh kemudian membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem, lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di Hutan Ambengan Abian Nangka.

Foto : Google Maps

    Di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Dalem Batu Ireng moksa, Arya Wang Bang Pinatih (salah satu Arya yang ikut dalam invasi Majapahit ke pulau Bali) bertemu dengan masyarakat Bali, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Simakrama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng yang bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang  menerima warisan dari Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang Pinatih mendirikan kerajaan Kertalangu dan mengukuhkan tempat peninggalan Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wraspati Wage Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini. 
    Setelah berkuasa selama beberapa tahun, kerajaan Kertalangu runtuh akibat konflik yang terjadi antara Arya Wang Bang Pinatih dengan mertuanya, Ki Dukuh Pahang. Untuk menyelamatkan keluarga Puri Kertalangu, Raja berpindah ke daerah Sanur dan kemudian mendirikan pura di Pantai Sanur dengan nama Pura Jumenang. Dengan pindahnya Raja Puri di Kertalangu ke Sanur, maka rakyat Kesiman menjadi tidak terurus dengan baik. Selama bertahun-tahun, wilayah Kesiman menjadi terbengkalai dan banyak bangunan-bangunan suci yang perlahan mulai rusak akibat tak terurus.
    Sekian lama terjadi kekosongan wilayah, pada sekitar tahun 1689-1690, putra dari Kyai Anglurah Pemecutan Sakti (Tjokorda Pemecutan III) yang bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri bernama Puri Ageng Pemayun Kesiman. Dalam pemerintahan kerajaan inilah banyak Parhyangan-Parhyangan yang diperbaiki dan dibangun untuk mengambil hati rakyat termasuk Pura Luhur Dalem Mutering Jagat, agar masyarakat Kesiman terutama rakyat iringan raja Arya Wang Bang Penatih menjadi lekat hatinya kepada kerajaan Kesiman. 

Narasumber : Jero Mangku Gede Mutering Jagat Kesiman, I Wayan Duana
Daftar Pustaka :
  • Supartha, Wayan. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Denpasar: Pustaka Bali Post.
  • Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. "Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali". Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
  • SatyaWedha. 2018. PURA PETILAN – PURA PANGREBONGAN. https://yanartha.wordpress.com/pura-petilan-pura-pangrebongan, diakses 4 April 2024 pukul 17:42.

Sabtu, 23 Maret 2024

Merajan Suci

Pamerajan Suci Puri Ageng Pemayun Kesiman pada sekitar tahun 1990


    Merajan Suci merupakan salah satu komplek merajan yang berada di Puri Ageng Pemayun Kesiman dan merupakan tempat berstananya Ida Ratu Pemayun Cakraningrat (Kyai Agung Ngurah Pemayun), pendiri dari Puri Ageng Pemayun Kesiman. Awal mula berdirinya Pamerajan Suci ini adalah sebagai berikut :

    Dikisahkan bahwa seiring berjalannya waktu setelah dibangunnya Puri Agung Kesiman pada tahun 1800-an yang disertai dengan pemindahan Pamerajan Puri Pemayun Kesiman, keluarga puri yang satu ini sering mengalami permasalahan dan hambatan yang seharusnya tidak bisa terjadi. Atas petunjuk dari patapakan Mangku di Pamerajan Puri Agung Kesiman, maka diadakan perundingan di antara para penglingsir kedua puri tersebut di atas. Dari perundingan tersebut dibuatlah kesepakatan agar pamerajan yang tadinya telah dipindahkan ke Puri Agung Kesiman dibangun kembali di Puri Ageng Pemayun Kesiman sebagaimana mestinya. Pamerajan itu kemudian disebut dengan Pamerajan Suci. Dengan demikian, di Puri Ageng Pemayun Kesiman terdapat dua Pamerajan Utama yaitu Merajan Suci dan Merajan Gede.

Pamerajan Suci Puri Ageng Pemayun Kesiman


Petoyan :
    Patirtan atau petoyan serta pangilen-ilen di Merajan Suci dilaksanakan pada setiap rainan Purnama Sasih Kelima.

Pelinggih-Pelinggih :
- Ratu Pemayun Cakraningrat (Ratu Pemayun Agung).
- Tajuk Ratu Pemayun.
- Menjangan Saluang.
- Ratu Hyang.
- Tajuk Ratu Hyang.
- Ratu Ngerurah Agung.
- Ratu Ngerurah Bima Raksasa.

Sumber : 
  • Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. "Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali". Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.

Rabu, 20 Maret 2024

Tradisi Nanda di Puri Pemayun Kesiman

Ritual Nanda di Pamerajan Agung Puri Pemayun (Foto : Rahde Dhamar Perbangkara)

    Nanda merupakan sebuah tari ritual yang dilaksanakan pada setiap upacara pengilen di beberapa Pura, Puri, maupun Jero di wilayah Denpasar Timur. Hingga saat ini, tradisi Nanda masih dapat dijumpai di Desa Adat Kesiman, Sumerta, Tembau, Penatih Puri, Taman Poh Manis, Penatih, dan beberapa desa adat lainnya. Di Puri Ageng Pemayun Kesiman sendiri, tradisi ini selalu dilaksanakan pada saat pengilen dalam upacara petirtan Pamerajan Agung dan Pamerajan Suci.

    Nanda berasal dari kata tandava yang merupakan paduan antara Canda dan Mudra. Canda adalah mantra, dinamika, ritme sedangkan mudra adalah gerak. Jadi dapat disimpulkan canda dan mudra merupakan perpaduan dari dinamika, ritme dan juga gerakan tubuh itulah yang disebut dengan tandava (tarian).

Ritual Nanda di Pamerajan Agung Puri Pemayun (Foto : Rahde Dhamar Perbangkara)

    Ciri khasnya tampak pada properti yaitu menggunakan Tanda. Tanda merupakan sebuah tedung (payung) yang dihias dengan janur (daun kelapa yang masih muda). Tanda merupakan lambang atau simbol Lingga Yoni, dimana tedung dilambangkan sebagai lingga dan janur dilambangkan sebagai Yoni. Penyatuan dari Lingga Yoni tersebut memiliki filosofi dalam sebuah kehidupan, yang divisualkan dalam bentuk janur.

    Ritual Nanda Masesapuh sebagai simbol pembersihan bumi biasa juga disebut Nyapuh Jagat, para Sedahan sebagai simbol Pratiwi sedangkan Ratu Pemayun dan Ratu Pemade yang melakukan ritual Nanda adalah simbolisasi para Dewa yang membersihkan dunia ini dari segala kotoran (Marerebu Bumi). Masesapuh berasal dari kata Sapuh yang berarti sapu, Nyapuh yang berarti menyapu atau membersihkan. Jadi Mesesapuh adalah sebuah aktivitas membersihkan atau Nyudhamala.

    Ritual Nanda kini telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2020, dengan nomor SK 1044/P/2020.

Ritual Nanda di Pamerajan Agung Puri Pemayun (Foto : Rahde Dhamar Perbangkara)

Sumber :

- Sugiarta, I Made dan I Putu Arthayana Galih. 2020. "TARI BARIS NANDA PADA PROSESI NGILEN DI PURA AGUNG PETILAN KESIMAN." Widyanata, Volume 2 Nomor 2.

- Budaya Kita. (2020). "Nanda." https://budaya.data.kemdikbud.go.id/wbtb/objek/AA001515.


Kyai Agung Ngurah Pemayun (Ratu Pemayun Cakraningrat)

Ratu Pemayun Cakraningrat (Kyai Agung Ngurah Pemayun/Nararya Anglurah Pemayun/I Gusti Ngurah Mayun) Pratima (Arca) Ratu Pemayun Cakraningrat...